Oleh: Maftucha S. Pd*
BUMN Indonesia yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia terus mengalami masalah. Di antaranya adalah PT. Garuda Indonesia Tbk, PT. PLN, dan Perusahaan BUMN Karya.
PT PLN (Persero) melaporkan pada kuartal I-2020 kinerja keungan perseroan mengalami kerugian sebesar Rp 38,88 triliun. Realisasi tersebut lebih rendah dibanding periode yang sama pada tahun 2019, dimana PLN berhasil meraup laba bersih Rp 4,1 triliun.
Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini mengatakan, hal tersebut diakibatkan sempat tertekannya kurs rupiah terhadap dollar AS pada Maret 2020. Total kerugian yang diakibatkan mata kurs mata uang asing mencapai Rp51,97 triliun. Menteri BUMN Eric Thohir mengungkapkan utang PT. PLN (Persero) saat ini mencapai Rp500 triliun.
Dalam laporan keuangan perseroan kuartal ketiga tahun 2020 yang dipublikasikan di Bursa Efek Indonesia, maskapai penerbangan PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk mencatat kerugian hingga US$ 1,07 miliar atau sekitar Rp 15,2 triliun (kurs Rp 14.227 per dolar AS) per September 2020.
PT. Garuda Indonesia menyebutkan kerugian terutama karena pukulan pandemi Covid-19 yang terjadi sejak awal tahun 2020. “Dan (2020) menjadi tahun yang terburuk sepanjang sejarah bisnis airlines,” seperti dikutip dari pernyataan manajemen Garuda Indonesia dalam keterbukaan informasinya, Jumat, 6 November 2020.
Di tengah kondisi BUMN yang terseok seok, kasus korupsi di perusahaan BUMN justru membuat kita terheran heran. Di antaranya Andra Yastrialsyah Agussalam selaku Direktur Keuangan PT. Angkasa Pura II. Andra menerima suap sebesar US$ 71 ribu dan Sing$96.700.
KPK juga menemukan praktik korupsi di PT. Waskita Karya (Persero). “Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), total kerugian keuangan negara yang timbul dari kegiatan pelaksanaan pekerjaan subkontraktor fiktif tersebut sejumlah Rp202 miliar,” ujar Firli Ketua KPK.
Sebelumnya di awal tahun masyarakat dikejutkan dengan kasus mega skandal korupsi PT. Asuransi Jiwasraya Tbk (Persero). Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memprediksi korupsi di asuransi pelat merah tersebut merugikan negara mencapai Rp17 triliun.
BUMN sebagai perusahaan plat merah memang merupakan salah satu sumber pendapatan yang diandalkan oleh negara. Undang-Undang No. 19 tahun 2003 mengamanahi BUMN sebagai perusahaan negara dengan tujuan menyediakan barang dan jasa publik untuk memberikan layanan sekaligus mendapatkan keuntungan. Dua tujuan ini tidak bisa dilepaskan satu sama lain.
Pada faktanya dalam menjalankan perusahaan BUMN ini, pemerintah lebih condong hanya pada visi keuntungan bukan pelayanan. BUMN layaknya ladang bisnis yang dijual kepada rakyat. Rakyat harus membeli mahal listrik, air, BBM, transportasi dsb. Anehnya sudah menjadikan BUMN sebagai ladang bisnis namun tetap saja selalu melaporkan kalau BUMN ini terus mengalami kerugian. Bagaimana tidak merugi jika pihak pihak di dalam perusahaan tersebut berebut untuk korupsi. Kasus moge dalam pesawat garuda tentu semakin membuka mata kita akan rusaknya para pejabat di BUMN tersebut.
Menurut Erik Thohir, jalan satu satunya untuk menyelamatkan BUMN ini adalah dengan memberikan dana segar. Dana segar entah dari hutang atau dari pemerintah, sedangkan yang kita tahu APBN kita juga kolaps. APBN kita hampir separuhnya bersumber dari hutang. Hal ini sempat mendapatkan warning dari salah satu perusahaan pemeringkat atas saham dan obligasi di dunia, S&P Global, karena perusahaan BUMN di bidang konstruksi tenggelam dalam hutang akibat Pak Jokowi membangun secara gila-gilaan.
Penyelesaian Cengkarut BUMN
Cengkarut atau masalah yang selalu timbul pada BUMN setidaknya disebabkan oleh tiga hal. Pertama BUMN dijadikan sebagai politik transaksional oleh para elit penguasa sehingga penetapan direksi dan komisaris lebih pada balas jasa.
Kedua, BUMN terdampak adanya kekuatan pemodal. Dan yang ketiga adalah Privilegeyg dimiliki BUMN sehingga masih bisa memonopoli harga walaupun terasa mencekik. Pengelolaan BUMN yang berbasis bisnis ini akibat diterapkannya sistem kapitalis oleh negeri ini. Sistem ini memberikan kebebasan kepada siapa saja untuk menguasai kekayaan yang menjadi hajat hidup orang banyak, termasuk BUMN.
Dalam sistem ini, sektor publik boleh boleh saja untuk diliberalisasi dan dikomersialisasii. Sementara negara memosisikan dirinya hanya sebagai regulator dan fasilitator saja. Bahkan negara bertindak sebagai perusahaan alias korporasi yang boleh ikut bermain dan mencari untung, sebagaimana yang terjadi pada hari ini.
Berbeda ketika Islam dijadikan sebagai pengatur negara, yang mana visi dan misi kholifahadalah memberikan pelayanan dan bukan mencari keuntungan. Rasulullah saw. bersabda, “Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya, dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Negara akan mengoptimalkan kekayaan yang menjadi milik rakyat dengan sebaik-baiknya. Kekayaan rakyat atau kepemilikan umum bisa meliputi air, energi (gas dan listrik), dan hutan. Selain itu Islam juga memberikan pelayanan secara murah bahkan gratis di bidang kesehatan, pendidikan, transportasi termasuk jalan tol.
Negara akan menempatkan dirinya sebagai pengurus (raa-in) sekaligus penjaga umat (junnah), sehingga kesejahteraan akan mewujud secara adil dan merata. Bukan malah menjadi sumber kesengsaraan bagi rakyatnya.
Cukuplah sabda Rasulullah saw. ini sebagai peringatan: “Tidak ada seorang hamba yang dijadikan Allah mengatur rakyat, kemudian dia mati dalam keadaan menipu rakyatnya (tidak menunaikan hak rakyatnya), kecuali Allah akan haramkan dia (langsung masuk) surga.” (HR Muslim). Wallaahu a’lam bi ash-Shawwab.
* Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam